pasang iklan baris gratis

sejarah reog ponorogo

Kamis, 06 Januari 2011 · Posted in

  1. Persoalan pilihan juga terjadi dalam hal kisah asal-usul dan bentuk pertunjukan reyog. Di kalangan masyarakat dan pelaku reyog di Ponorogo beredar berbagai versi cerita asal-usul kesenian tersebut. Begitu pula di sana juga terdapat sejumlah variasi pertunjukan reyog. Dengan demikian muncul persoalan: cerita asal-usul mana yang akan dipakai sebagai landasan penentuan reyog sebagai identitas lokal? Reyog macam apa yang dipilih?

    Secara garis besar, di Ponorogo paling tidak dikenal 3 (tiga) versi utama kisah asal-usul Reyog Ponorogo, yitu :

    Versi Bantarangin,
  2. Versi Ki Ageng Kutu Suryangalam, 
  3. Versi Batara Katong.

    Versi Bantarangin menyebut empat peran dalam reyog: seorang raja kerajaan Bantarangin bernama Kelana Sewandana, Patihnya yang bernama Bujang Ganong, sekelompok prajurit kavaleri kerajaan Bantarangin, dan Singa Barong penguasa hutan Lodaya.

    Sementara itu, versi Ki Ageng Kutu Suryangalam hanya mengenal tiga peran: Bujang Ganong, sekelompok pasukan berkuda, dan Singa Barong. Dalam hal jumlah dan identitas peran dalam reyog Ponorogo versi Batara Katong sebenarnya tidak berbeda dari versi Bantarangin.

    Versi Batara Katong juga mengenal keempat peran di atas. Namun, berbeda dari versi Bantarangin, versi Batara Katong memahami ke empat peran dalam reyog tersebut sebagai rekaan Ki Ageng Mirah – salah seorang pengikut Batara Katong dalam upayanya menyebarkan agama islam di kalangan masyarakat Ponorogo pada abad XV (menjelang runtuhnya Majapahit).

    Untuk mengatasi persoalan seperti itu pada bulan September 1992 pihak pemerintah kabupaten setempat membentuk sebuah tim kerja yang bertugas mempersiapkan sebuah naskah yang memuat aspek sejarah, kisah asal-usul, serta aspek filosofis kesenian rakyat tersebut; serta menguraikan tata rias dan busana, musik, peralatan, dan aspek koreografinya.
    Tim tersebut beranggotakan para seniman reyog Ponorogo, tokoh masyarakat, dan pejabat pemerintahan kabupaten. Hasil kerja tim tersebut berupa naskah berjudul Pembakuan Kesenian Reog Ponorogo Dalam Rangka Kelestarian Budaya Bangsa (Soemardi, 1992), yang dipresentasikan dalam sebuah saresehan di Pendapa Kabupaten Ponorogo, 24 Nopember 1992.

    Setelah mengalami sejumlah revisi, pada tahun 1993 naskah tersebut diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat dalam bentuk buku berjudul Pedoman Dasar Reyog Ponorogo Dalam Pentas Budaya Bangsa. Revisi terpenting dilakukan pada unsur sejarah dan legenda asal-usul. Semula naskah Pembakuan hanya mencantumkan satu varian dari versi Bantarangin.

    Dalam buku Pedoman Dasar dimuat ketiga versi utama kisah asal-usul reyog Ponorogo dan ditempatkan secara kronologis.
    Versi Bantarangin yang merujuk pada jaman kerajaan Kediri (abad XI) dianggap sebagai versi tertua diletakkan pada bagian paling awal,
    disusul oleh versi Ki Ageng Kutu Suryangalam yang merujuk pada masa pemerintahan Bhre Krtabumi di Majapahit (abad XV),
    dan diakhiri oleh versi Batara Katong yang merujuk pada penyebaran agama Islam di wilayah Ponorogo pada abad XV pula (ditandai dengan dikalahkannya Ki Ageng Kutu Suryangalam yang beragama Budo oleh Batara Katong yang beragama Islam).

    Dengan cara pandang seperti itu, pemerintah setempat menempatkan versi Batara Katong sebagai bentuk perkembangan terakhir, dan mendudukkan upaya pemerintah setempat di akhir abad XX sebagai kelanjutannya.

    Bisa diperkirakan bahwa persoalan kisah asal-usul reyog Ponorogo ini mengundang perbantahan di kalangan pelaku kesenian tersebut. Sejumlah tokoh masyarakat dan praktisi reyog yang hadir dalam saresehan pada waktu itu menceritakan kembali bagaimana suasana pertemuan tersebut berubah menjadi arena perdebatan yang sengit antara pihak-pihak yang bersikukuh pada ‘kebenaran’ kisah yang diyakininya.

    Sebuah bentuk argumentasi tipikal dalam perdebatan mengenai ‘kebenaran’ kisah asal-usul Reyog Ponorogo adalah pertanyaan mengenai ketuaan periode sejarah yang dirujuk oleh masing-masing cerita. Pertanyaan semacam ini biasanya diajukan untuk mengklaim bahwa versi yang merujuk pada periode sejarah yang lebih tua dianggap lebih otentik. Memakai tolok ukur serupa itu, maka versi Bantarangin yang merujuk pada abad XI (masa kerajaan Kediri ) dipandang sebagai kisah yang lebih otentik. Namun, klaim serupa itu mendapat tantangan dari pihak lain yang menggunakan tolok ukur ‘kebenaran’ berbeda.

    Sekedar sebagai contoh, mereka yang tidak sepakat dengan versi Bantarangin, meragukan kebenaran versi Bantarangin karena terdapat kejanggalan antara gelar yang disandang oleh guru dari raja Bantarangin (Kelana Sewandana), yakni Sunan - yang bernuansa Islam, dengan periode sejarah yang dirujuknya, yaitu jaman kerajaan Kediri yang Hindu.

    Dalam perbantahan semacam itu ‘kebenaran’ juga sering ditegakkan dengan cara menemukan kesesuaian antara nama-nama yang disebutkan dalam cerita dengan kondisi alam suatu daerah. Contohnya, orang menanggapi nama Bantarangin sebagai kerata basa dan menafsirkannya sebagai petunjuk mengenai sebuah lokasi di mana angin bertiup dengan kencang (Jawa: banter). Penafsiran semacam itu kemudian dicocokkan dengan kondisi alam daerah Sumoroto yang diyakini sebagai lokasi kerajaan Bantarangin. Bahkan nama Sumoroto pun juga ditafsir sebagai petunjuk mengenai daerah yang datar (Jawa: rata).

Diberdayakan oleh Blogger.